Selasa, 14 April 2009

sejarah orthopaedi indonesia

SEJARAH ORTHOPAEDI INDONESIA

Sebelum ada pendidikan orthopaedi, dosen ahli bedah dari Indonesia dikirim untuk belajar ilmu bedah orthopaedi ke luar negeri diantaranya..dr Soebiakto W. ke Boston USA, dr. Nagar Rasjid Nasution ke London UK, dr. Soelarto Reksoprodjo ke Paris Perancis dari RSPAD dr. Soejoto ke Walter Reed USA dan dr. Sjamsul Ma`arif, dr Budiarso Sarwono, dr PT Simatupang dan dr Hara Marpaung ke Kobe Jepang.
Selain itu Prof. Soeharso pendiri Pusat Rehabilitasi Surakarta mendapat bantuan dari AD (Jendral Gatot Soebroto) dan QHO dan spesialis ortho dan fisiotx dari berbagai negara untuk mengembangkan ilmu bedah dari segi rehabilitasi. Bersama bpk. Soeroto seorang teknisi beliau mendirikan bengkel tangan dan kaki palsu. Kemudian berkembang menjadi Pusat Rehabilitasi Solo yang dilenglkapi dengan sarana pendidikan untuk paramedic rehabilitasi seperti sekolah perawat fisioterapi, perawat rehabilitasi (oleh ibu Soeroto) dan prostesis orthosis (oleh bpk. Soeroto) selain itu juga didirikan Rumah Sakit Lembaga Orthopaedi dan Prostesis (LOP)

Orthopaedi Training Di Indonesia

Kongres WPOA (Western Pacific Orthopaedic Association) di Hongkong 1968 prof Soeharso membicarakan tentang pendidikan ahli bedah ortho di indonesia dengan Allan Mc Kelvie (USA) dan Jhon Jen (Aus). Follow up dari pertemuan ini prof Hilman dari Campbell Clinic Tennessee ke Jkt pd thn 1968
Pembicaran antara Prof. Sorharso, pimpinan FKUI/RSCM dan Prof Hilman dari CARE Medical Orthopaedic Overseas memutuskan mengadakan orthopaedic training di Indonesia. 
Mulai tgl 1 oktober 1968 dimulailah pendidikan orthopaedic di Indonesia dengan konsultan dari amerika utara dan Australia yang dating bergantian tiap bulan.
Konsultan pertama dr Harry Fahrni dan istrinya (perawat kamar bedah) dari Canada.
Pendidikan berlangsung selama 2 tahun setelah ahli bedah, dengan menggunakan RSCM, RS Fatmawati, YPAC sebagai tempat pendidikan dan RS Solo pada akhir pendidikan.
Peserta pendidikan pertama adalah Dr Sumanto dan dr Syahbudin Tajib Salim. Setelah 1 bulan dr Soemanto tidak dapat meneruskan pendidikan dan digantikan oleh dr Soelarto Reksoprodjo. Secara tidak langsung tempat pendidikan ortho juga beada di RS PMI krn tiap hari jumat dr Soelarto mengunjungi RS PMI sbg konsultan dan menangani kasus2 ortho disana terutama fraktur. Akhirnya dr. Indradi Roosheroe yang saat itu adalah direktur RS PMI juga bergabung mengikuti pendidikan ortho. Sebelum dr Indradi bergabung,telah tergabung dr IP Sukarna (UNAIR) dr Chebab Rukni Hilmi (UI) thn 69, dr Ichwan P. Radjamin (UNAIR) dan dr Subroto Sapardan (UI) thn 70, dr Saleh Mangunsudirjo dan dr Indradi Roosheroe thn 71.
Thn 73 menjadi 4 orang peserta didik diantaranya, dr Djoko Roeshadi, dr Errol Untung Hutagalung, dr Achmad Djojo Sugito (UNPAD) dan dr Chaerudin Rasyad (UNHAS) yang mengikuti penuh program overseas sampai tahun 75.
 Pada thn 74 PABOI menyelenggarakan pertemuan ilmiah international (saat itu beranggotakan 17 orang). Pertemuan tersebut dinyatakan sebagai Kongres I PABOI. Pada saat evaluasi semi-annual bulan Mei 1975, pemerintah RI cq DepKes menghentikan program pendidikan bantuan CARE Medico. Selanjutnya pendidikan dilaksanankan oleh ahli dari Indonesia sendiri. Segera setelah itu PABOI sebagai perkumpulan profesi membuat kurikulum pendidikan ahli bedah orthopaedi.
Dalam spesialisasi, berdasarkan prioritas yang dibutuhkan Negara, hanya 14 jenis program pendidikan dokter spesialis yang mendapat pengakuan oleh CMS (Consortium Medical Sciences). Istilah CMS kemudian berubah menjadi CHS (Consortium Health Sciences). Walaupun demikian pendidikan ahli bedah orthopaedi tetap berlangsun. Di Bandung, (sebagai tempat kelahiran PABOI pada tanggal 25 September 1969), dalam pidatonya, Mentreri P & K yang dibacakan oleh Dirjen Dikti Prof. Doddy, Departemen P & K menyatakan pengakuan Orthopaedi sebagai PPDS. Oleh karenanya pendidikan ini dapat menerima sebagian pesertanya yang terdiri dari dokter umum setelah melaksanakan WKS (wajib kerja sarjana di puskesmas) dan realisasinya baru mulai terlaksana pada bulan januari 1981. Pendidikan berlangsung berdasarkan catalog kurikulum PPDS yang diakui CHS dengan jumlah SKS 100 yang terdiri dari:

 
Pengetahuan teori dasar bedah orthopaedi (8 SKS)
Pengetahuan teori klinik bedah dasar umum dan khusus bedah (8 SKS)
Pengetahuan teori klinik khusus orthopaedi (12 SKS)
Keterampilan (diagnostic) (5,5 SKS)
Pengetahuan penggunaan alat (1 SKS)
Tindakan perawatan non operatif (3,5 SKS)
Tindakan operatif (38,5 SKS)
Tanggung jawab (6 SKS)
Kegiatan Ilmiah (14 SKS)
Kegiatan mendidik (3 SKS)
Teori penelitian dasar atau lanjutan dan penulisan tesis (2,5 SKS)

 

Katalog ini kemudian diperbaharui menjadi 2 tahun bedah dasar dan 2,5 tahun khusus orthopaedi. Pusat pendidikan yang ditunjuk adalah Jakarta (UI) dan Surabaya (UNAIR). Dengan demikian produksi ahli atau spesialis bedah orthopaedi dapat berkembang lebih pesat.
Walaupun sudah tidak ada hubungan secara resmi dengan luar negeri, namun karena tetap ada jalinan hubungan pribadi, maka ujian akhir ilmu Bedah Orthopaedi yang dilaksanakan oleh PABOI dan pusat pendidikan, tetap mengikut-sertakan penguji luar terutama dari Australia dan Singapura, bahkan juga dari Amerika, Kanada, Perancis, dan Jepang. Sampai saat ini ujian akhir tetap diselenggarakan oleh PABOI bekerjasama dengan pusat pendidikan, dengan mengundang penguji luar dari Singapura dan Australia.
Pusat pendidikan pun bertambah dengan UNPAD Bandung pada tahun 1988 dan sekarang UNHAS Ujung Pandang telah pula menjadi pusat pendidikan ke 4 (empat). Ujian akhir tetap diselenggarakan oleh PABOI sebagai salah satu kegiatannya yang dilakukan melalui kerjasama dengan pusat pendidikan, dengan cara bergiliran tempat serta pelaksanaannya di pusat pusat pendidikan setiap tahun (2 kali/setahun)

1 komentar:

  1. sangat menarik menilik sejarah dan semangat orang-orang dulu.
    yang ingin saya tanyakan, siapa sajakah pendiri PABOI itu?

    BalasHapus